MASYARAKAT PEDESAAN DAN
PERKOTAAN ASPEK POSITIF & NEGATIF
Contoh Studi Kasus:
Kehidupaan masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota.
Perbedaan yang paling mendasar adalah keadaan lingkungan, yang mengakibatkan
dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan. Kesan masyarakat kota
terhadap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak,
serta mudah tertipu dsb. Kesan seperti ini karena masyarakat kota hanya menilai
sepintas saja, tidak tahu, dan kurang banyak pengalaman.
Untuk memahami masyarakat pedesaan dan perkotaan tidak
mendefinisikan secara universal dan obyektif. Tetapi harus berpatokan pada
ciri-ciri masyarakat. Ciri-ciri itu ialah adanya sejumlah orang, tingal dalam
suatu daerah tertentu, ikatan atas dasar unsur-unsur sebelumnya, rasa
solidaritas, sadar akan adanya interdepensi, adanya norma-norma dan kebudayaan.
Masyarakat pedesaan ditentukan oleh bentuk fisik dan sosialnya,
seperti ada kolektifitas, petani individu, tuan tanah, buruh tani, nelayan dsb.
Masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan masing-masing
dapat diperlakukan sebagai sistem jaringan hubungan yang kekal dan penting,
serta dapat pula dibedakan masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat lain.
Jadi perbedaan atau ciri-ciri kedua masyarakat tersebut dapat ditelusuri dalam
hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran
komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenotas, perbedaan sosisal,
mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan,
ukuran kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistem lainnya.
Contohnya dalam lapangan pekerjaan, sebagian besar
masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk mencari nafkah di kota, karena di kota
lebih luas lapangan kerjanya dari pada di desa, lain halnya masyarakat kota
yang selalu memilih tempat liburan ketika ingin mendinginkan fikiran dan hati
karena padatnya kehidupan di kota kebanyakan memilih berliburan di daerah -
daerah pedesaan.
Kesimpulan:
Jadi intinya, masyarakat perkotaan secara tidak langsung
membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya,
masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun
keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam
diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling
mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan.
Sumber:
http://damaisubimawanto.wordpress.com/2010/12/10/masyarakat-perkotaan-dan-pedesaan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Desa
http://bimanovakh.blogspot.com/2011/01/masyarakat-perkotaan-aspek-aspek.html
PELAPISAN SOSIAL DAN
KESAMAAN DERAJAT
Contoh Studi Kasus:
Kasus Ade Irma misalnya, setelah 2 tahun memperjuangkan haknya
mendapatkan pelayanan kesehatan, oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo baru bisa
menerimanya. Walau keberhasilannya itu, harus dibayar mahal dengan nyawanya
yang tidak tertolong. Ade, satu diantara sekian banyak pemilik sah kartu
keluarga miskin yang ditolak keluhan kesehatannya oleh rumah sakit.
Risma Alfian, bocah pasangan Suharsono (25) dan Siti Rohmah
(24), sudah empat belas bulan tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Kepalanya
yang terus membesar membuat Risma tidak bisa bangun. Sejak umur satu bulan,
Risma sudah divonis terkena hydrocephalus (kelebihan cairan di otak manusia
sehingga kepala penderita semakin besar).
Bidan tempatnya menerima imunisasi, meminta Risma segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi tidak serta merta bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk mendanainya.
Bahkan dengan memiliki kartu Gakin yang diperolehnya dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam perawatan medis. Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
Kesimpulan: Dari contoh kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat kita sekarang ini tidak mampu berobat ke rumah sakit karena dirasakan biayanya sangat mahal. Pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum menjangkau keseluruhan masyarakat.
Dari sekian banyak dokter spesialis di Indonesia, hanya segelintir persen yang benar-benar bisa diandalkan. Bobroknya moral dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai sejak awal proses bagaimana seseorang itu bisa masuk di fakultas kedokteran. Biaya kuliahnya aja udah selangit. Konon lagi mereka-mereka yang mengambil jalur ekstensi.
Bidan tempatnya menerima imunisasi, meminta Risma segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi tidak serta merta bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk mendanainya.
Bahkan dengan memiliki kartu Gakin yang diperolehnya dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam perawatan medis. Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
Kesimpulan: Dari contoh kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat kita sekarang ini tidak mampu berobat ke rumah sakit karena dirasakan biayanya sangat mahal. Pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum menjangkau keseluruhan masyarakat.
Dari sekian banyak dokter spesialis di Indonesia, hanya segelintir persen yang benar-benar bisa diandalkan. Bobroknya moral dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai sejak awal proses bagaimana seseorang itu bisa masuk di fakultas kedokteran. Biaya kuliahnya aja udah selangit. Konon lagi mereka-mereka yang mengambil jalur ekstensi.
Biayanya pasti lebih tinggi. Parahnya lagi bagi mereka yang
berduit dan kuliah di kedokteran hanya untuk menjaga gengsi. Motivasi
mahasiswanya juga berbeda-beda kan. Bayangin aja jika salah satu bidang paling
vital di negeri ini, yaitu bidang kesehatan ditangani oleh lulusan fakultas
kedokteran yang bermotivasi untuk mendapat ”duit”.
Pantas saja begitu mahalnya harga kesehatan di Indonesia. Kebanyakan dari mereka (saya tidak mengatakan semua), membuka praktek dan menetapkan tarif mahal kepada pasiennya agar bisa ”balik modal”. Tanpa peduli apakah pasien itu kaya atau miskin. Ini bukan hanya pendapat saya, tapi ini adalah pendapat publik. Pasien hanya dijadikan komoditas untuk memperkaya dokter.
Pantas saja begitu mahalnya harga kesehatan di Indonesia. Kebanyakan dari mereka (saya tidak mengatakan semua), membuka praktek dan menetapkan tarif mahal kepada pasiennya agar bisa ”balik modal”. Tanpa peduli apakah pasien itu kaya atau miskin. Ini bukan hanya pendapat saya, tapi ini adalah pendapat publik. Pasien hanya dijadikan komoditas untuk memperkaya dokter.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Indo
http://www.indosiar.com/ragam/masyarakat-miskin-bakal-sulit-sehat_61938.html
PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT
Contoh Studi Kasus:
Sebagai contoh kecil pertentangan dalam hubungan
sosial di negara kita yaitu di pedalaman daerah seperti di Papua yang masih
sering terjadi konflik sampai berakhir dengan perang antar suku. Sebenarnya
masalah yang ada hanyalah perebutan hak tanah yang menjadi konflik antar suku,
mereka sebenarnya mengenal penyelesaian masalah dengan cara musyawarah namum
hal itu juga tidak menemui titik temu dan berakhir bentrok lagi yang akhirnya
menimbulkan korban jiwa. Ini adalah pertentangan sosial yang terus menerus
terjadi di tanah papua yang sering meresahkan masyarakat sekitarnya.
Bila kita melihat di Ibukota negara kita ini
Jakarta juga masih terjadi pertentangan sosial bahkan di dunia pendidikan,
hanya masalah spele saling ejek-mengejek sampai terjadi tawuran antar pelajar
kelompok dengan kelompok. Masalah spele bahkan hanya karna pertentangan
individu dengan individu menjadi besar pertentangan kelompok dengan kelompok,
dikarenakan hanya bila ada satu pihak disakita maka semuanya merasa disakiti.
Ini hal yang seharusnya menjadi bahan refrensi kenapa harus menjadi besar,
memang jelas mungkin masalah kedudukan.
Masalah kedudukan memang menjadi faktor
pertentangan, perebutan kedudukan dalam hal apapun yang bisa menimbulkan
keributan dari awalnya hanya sepihak menjadi kelompok dan berkembang menjadi
masalah yang berakibat perang antar kelompok. Ini sebuah masalah yang berawal
dari masalah kecil yang tidak diselesaikan dengan kepala dingin dan masih
menggunakan otot hanya demi mendapatkan apa yang diinginkan yaitu kedudukan
yang lebih tinggi agar memegang kekuasaan namun dengan cara yang salah dengan
cara bodoh yaitu kekerasan.
Memang banyak hal yang menimbulkan pertentangan
dalam hubungan sosial apalagi dinegara kita yang notabennya negara dengan
banyak suku agama warna kulit dan lain-lain. Yang memang masih banyak
perpecahan dalam masyarakat kita hanya dengan hal kecil bisa terjadi
pertentangan yang menimbulkan perpecahan. Apalagi dengan perpecahan yang
terjadi pada ibukota negara kita, kota yang harusnya sudah menjadi contoh bagi
kota lain dari segi sikap maupun sifat yang ditunjukan sudah menjadi patokan
bagi yang lainnya. Pelajar yang masih bentrok hanya dengan masalah kecil,
mereka terpelajar bahkan mengetahui bahwa hal tersebut tidak baik dan tidak
patut dilakukan oleh pelajar yang seharusnya menjadi tombak penggerak bangsa
Indonesia.
Ada juga pertentangan yang terjadi karena adanya
provokator yang memperngaruhi atau sengaja mengadu domba satu pihak dengan
pihak yang lainnya, yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan dan konflik
antara kedua kelompok. Padahal belom tentu masalah tersebut ada akar
permasalahan yang jelas bahkan pada akhirnya hanya menemui titik buntu dalam
permasalahan itu sendiri yang hanya menghasilkan pertumpahan darah yang tiada
artinya diperjuangkan.
Kesimpulan:
Sebenarnya apa yang mereka perebutkan? Hanyalah
sebuah kedudukan untuk dipandang lebih tinggi dan kekuasaan yang mereka pegang
diakui oleh orang lain. Tanpa alasan yang jelas mereka saling merebutkan hal
yang tidak penting bahkan hanya menjadi senjata untuk membunuh diri kita
sendiri, bukan hanya soal kekuasaan dan kedudukan yang menjadi akar dari pada
pertentangan yang terjadi dalam hubungan sosial. Seharusnya Indonesia
sebagai negara yang banyak perbedaannya menjadi negara multikultur yang manjadi
nilai lebih untuk masyarakatnya sendiri, dengan saling menjalin kasih saying
saling menghormati satu sama lain tidak memandang rasisme yang berlebihan hanya
perlu saling menghargai satu sama lain akan terjalin pula keadaan yang harmonis
di dalam negara kita ini.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/27/pertentangan-pertentangan-sosial-integrasi-sosial-nasional-503907.html
AGAMA KONFLIK DAN MASYARAKAT
Contoh Studi Kasus:
Kerusuhan Ambon (Maluku)
yang terjadi sejak bulan Januari 1999 hingga saat ini telah memasuki periode
kedua, yang telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar
serta telah membawah penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi
rakyat di Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya.
Kerusuhan Ambon (Maluku)
yang semula menurut pemahaman kalangan masyarakat awam sebagai sebuah tragedi
kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak/peristiwa kriminal biasa,
ternyata berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan adalah merupakan sebuah
rekayasa yang direncanakan oleh orang atau kelompok tertentu demi
kepentingannya dengan mempergunakan isu SARA dan beberapa
faktor internal didaerah (seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi dibidang
pemerintahan dll) untuk melanggengkan skenario yang ditetapkan.
Begitu matangnya rencana
yang dilakukan yang diikuti dengan berbagai penyebaran isu yang menyesatkan, seperti
adanya usaha-usaha dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) yang
sengaja diidentifisir dengan Republik Maluku Serani (Kristen), adanya usaha
untuk membantai umat Islam di Maluku, keterlibatan preman Kristen Jakarta, isu
pemasokan senjata kepada umat Kristen di Maluku dari Israel dan Belanda, serta
berbagai isu menyesatkan lainnya telah menimbulkan semakin kuat dan
mengentalnya sikap dan prilaku fanatisme terhadap masing-masing agama (Islam
dan Kristen).
Berbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dan ABRI untuk mengklarifikasi isu-isu yang tidak
bertanggung jawab tersebut ternyata tidak mampu meredam kekuatan dari mereka
yang menginginkan agar kerusuhan Ambon (Maluku) terus diperpanjang dan
diperluas.
Penciptaan kondisi ini
semakin menguat ketika ABRI (TNI dan Polri) telah dengan sengaja ikut
menciptakan konflik yang berkepanjangan melalui penanganan pengendalian
keamanan yang tidak profesional dan terkesan bertendensi mengipas-ngipas agar
kerusuhan di Maluku tak kunjung selesai.
Peranan Pemerintah Daerah,
Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Militer serta komponen bangsa lainnya yang ada
di daerah melalui berbagai upaya rekonsiliasi untuk mendamaikan pihak-pihak
yang bertikai hanya bersifat "semu" belaka. Satu dan
lain hal disebabkan karena tidak ada kemauan yang transparan dalam upaya
menyelesaikan pertikaian, juga upaya rekonsiliasi lebih bersifat Top
Down dan bukan Bottom Up.
Kesimpulan:
Konflik
ambon yang terjadi pada tahun 1999 yang dikarenakan hal sepele sebenarnya sudah
direncanakan oleh pihak-pihak profokator untuk menghancurkan kekuatan ambon
yang dalam masalah ini memakai masalah agama yaitu membuat pertikain antara
kaum muslim dan kaum kristiani.
Dalam hal
tersebut kepentingan politiklah yang dijalankan, karena ketakutan kekuatan Ambon
yang kuat dan akhirnya memisahkan diri dari NKRI, kejadian ini adalah salah
satu akibat dari kejadian 1998, karena ambon dinilai juga sebagai basis gerakan
reformasi.
Sumber:
http://www.fica.org/hr/ambon/idKronologisKerusuhanAmbonSept1999.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar