Selasa, 15 November 2011

Konflik Papua


Latar Belakang Pemberian Otonomi Daerah Khusus di Provinsi Papua

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008
Perpu 1/2008 merupakan revisi dari UU 21/2001 yang ditujukan untuk memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat. Dalam UU 21/2001, hanya dijelaskan mengenai pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini diterjemahkan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah pemekaran". Pada waktu UU 21/2001 disahkan, yang dimaksud Provinsi Papua mencakup seluruh wilayah Pulau Papua bagian barat. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur dari Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, Presiden menerbitkan Perpu 1/2008 sebagai dasar hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat.

Konflik Papua karena ketidakadilan dan kesejahteraan

Perajin menyelesaikan pembuatan keranjang khas papua (noken) di Distrik Illu, Puncak Jaya, Papua. (ANTARA/Yudhi Mahatma)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR RI, Marzuki Alie, menyatakan, akar permasalahan konflik di Papua adalah rasa ketidakadilan dan belum meratanya kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Papua.


"Masyarakat Papua ingin dihargai sebagai manusia bermartabat. Untuk itulah diperlukan dialog secara konstruktif dalam menciptakan kedamaian di bumi Papua," kata Marzuki Alie saat pidato di rapat paripurna DPR RI pembukaan masa sidang II tahun sidang 2011-2012 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin,
Marzuki menambahkan, semua permasalahan tersebut memerlukan penanganan serius.
"Tidak hanya pernyataan prihatin saja, tetapi harus dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit pemerintah," sebut dia. Pemerintah, lanjutnya, telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2011.
"Unit ini harus diberikan kesempatan untuk bekerja efektif, efisien dan terutama melakukan keomunikasi intensif dengan mengedepankan dialog untuk menemukan solusi," kata Marzuki.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu menambahkan, pemberian otonomi khusus berdasarkan UU 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2008 adalah sudah tepat.
"Otonomi khusus itu merupakan awal kebijakan yang tepat guna membangun kepercayaan masyarakat Papua," ujarnya. Namun, dengan kucuran dana Rp300 triliun, masyarakat Papua tidak merasa ada peningkatan kesejahteraan. Menurut Marzuki, otonomi khusus itu tidak berjalan efektif dan amanat UU tentang Otonomi Khusus itu belum dilaksanakan secara maksimal. "Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana mendorong kesadaran generasi muda Papua sebagai bagian dari Indonesia, bagaimana Papua merasa memiliki Indonesia," kata Marzuki. (Zul)

Konflik Papua Adalah masalah Politik

Jakarta menutup diri atas masalah dan konflik papua, Jakarta klaim masalah papua adalah masalah kesejetrahan namun sesungguhnya adalah masalah politik papua, jika kasus politic tidak di selesaikan melalui jalur perundingan politik maka pendekataan kesejahtraan tidak akan pernah terwujud. Pembantaian orang papua yang paling dominan adalah dengan label separatis, makar, OPM dan lain-lain, lebel ini berkaitan erat dengan isu perjuangan pilitik papua, isu politik papua adalah masalah hak kemerdekaan papua (Free west papua indenpenden).
Perjuangan politik papua ini berawal dari janji belanda yang pernah deklarasikan 1 desember 1961 dengan artibut kenegaraan ( Bintang kejora, burung mabruk, lagu hai tanahku papua), baru-baru ini anggota parlement belanda (partai anti islam) telah mengejutkan pernyataan bahwa belanda mempunyai beban moral atas janji belanda terhadap rakyat papua (janji kemerdekaan).
Solusi dari Segi Budaya
Diperlukan adanya dialog dan reformasi politik untuk memberikan keinginan masyarakat Papua yang sesuai dengan hukum. Selain itu, rakyat lebih senang ada pendekatan budaya, juga secara keimanan dengan melalui para pendeta, pastor serta rohaniwan protestan maupun katolik.
Operasi Intilejen Solusi Konflik Papua







JAKARTA -- Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Kabais TNI), Mayjen Purnawirawan TNI M. Luthfie mengatakan, untuk mengatasi gejolak di Papua harus dilakukan kembali operasi intelejen. Sehingga penyelesaian konflik di Papua memiliki target tertentu.

"Menurut saya perhatian ke Papua harus bagus ya. Pendekatan kita sekarang, sebenarnya kita disana bisa dilakukan operasi intelijen," ujar Luthfie di Jakarta, Jumat 11 November 2011.

Luthfie mengatakan, operasi intelejen yang dilakukan jangan diartikan seperti operasi yang melakukan kekerasan saja, namun operasi itu bisa dilakukan dengan cara yang halus dengan melakukan pendekatan-pendekatan.

"Mustinya kan harus dikasih target. misalnya, Kodam dikasih target, potretnya Papua itu dibagi berapa, kan ada berapa kelompok. Sehingga ada satu periode misalnya periode Pangdam A harus selesaikan ini, istilahnya operasi penggalangan," jelasnya.

Dikatakannya, tidak semua operasi yang dilakukan ditargetkan secara sama, karena setiap operasi itu dilakukan harus dibedakan sesuai dengan kondisi dan laporan terbaru disana. Namun hal tersebut diakui Luthfie membutuhkan waktu dan biaya yang cukup.

"Sekarang kita kan hanya kayak pemadam kebakaran. Kita tidak punya konsep yang baku dan bagus. Kita dulu waktu jadi Kabais pernah bentuk satgas setia namanya, untuk memetakan keadaan di Papua, ada berapa kelompok-kelompok separatis disitu," ungkapnya.

Lebih lanjut Luthfie menambahkan, setelah dilakukan pemetaan kemudian aparat TNI atau Polri melakukan sebuah operasi penggalangan yang sifatnya halus tanpa ada kekerasan. Selanjutnya aparat harus mengetahui berapa kekuatan dan persenjataan kelompok-kelompok separatis disana.

Operasi tersebut juga diharapkan melalui komando yang jelas, sehingga mencapai konsep dan target yang bagus.

"Sehingga semua tidak ada yang lepas, ada kelompok yang lakukan sendiri operasi intel. Misalnya kopasus atau yang lain. Waktu saya jadi Kabais, Kepala BIN nya pak Syamsir, kita koordinasi supaya tidak lepas satu sama lain," pungkasnya.(ndr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar