Latar Belakang Pemberian Otonomi Daerah Khusus di Provinsi Papua
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua
(semula disebut Irian Barat
kemudian berganti menjadi Irian Jaya)
menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita
luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang
bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999
dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status
Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal
yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah,
sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang
kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian
masalah-masalah di Provinsi Papua.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya
yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri
adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua,
termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI
menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera
Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat
memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi
kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah
yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008
Perpu
1/2008 merupakan revisi dari UU 21/2001 yang ditujukan untuk memberikan dasar
hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat. Dalam UU
21/2001, hanya dijelaskan mengenai pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi
Papua. Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini
diterjemahkan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi
Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah pemekaran". Pada
waktu UU 21/2001 disahkan, yang dimaksud Provinsi Papua mencakup seluruh
wilayah Pulau Papua
bagian barat. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur dari
Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya
mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan
khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi
Papua Barat. Oleh karena itu, Presiden menerbitkan Perpu 1/2008 sebagai dasar
hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat.
Konflik Papua karena ketidakadilan dan kesejahteraan
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR RI, Marzuki
Alie, menyatakan, akar permasalahan konflik di Papua adalah rasa ketidakadilan
dan belum meratanya kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Papua.
"Masyarakat Papua ingin dihargai sebagai manusia bermartabat. Untuk itulah diperlukan dialog secara konstruktif dalam menciptakan kedamaian di bumi Papua," kata Marzuki Alie saat pidato di rapat paripurna DPR RI pembukaan masa sidang II tahun sidang 2011-2012 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin,
Marzuki menambahkan, semua permasalahan tersebut memerlukan penanganan serius.
"Tidak hanya pernyataan prihatin saja, tetapi harus dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit pemerintah," sebut dia. Pemerintah, lanjutnya, telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2011.
"Unit ini harus diberikan kesempatan untuk bekerja efektif, efisien dan terutama melakukan keomunikasi intensif dengan mengedepankan dialog untuk menemukan solusi," kata Marzuki.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu menambahkan, pemberian otonomi khusus berdasarkan UU 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2008 adalah sudah tepat.
"Otonomi khusus itu merupakan awal kebijakan yang tepat guna membangun kepercayaan masyarakat Papua," ujarnya. Namun, dengan kucuran dana Rp300 triliun, masyarakat Papua tidak merasa ada peningkatan kesejahteraan. Menurut Marzuki, otonomi khusus itu tidak berjalan efektif dan amanat UU tentang Otonomi Khusus itu belum dilaksanakan secara maksimal. "Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana mendorong kesadaran generasi muda Papua sebagai bagian dari Indonesia, bagaimana Papua merasa memiliki Indonesia," kata Marzuki. (Zul)
"Masyarakat Papua ingin dihargai sebagai manusia bermartabat. Untuk itulah diperlukan dialog secara konstruktif dalam menciptakan kedamaian di bumi Papua," kata Marzuki Alie saat pidato di rapat paripurna DPR RI pembukaan masa sidang II tahun sidang 2011-2012 di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin,
Marzuki menambahkan, semua permasalahan tersebut memerlukan penanganan serius.
"Tidak hanya pernyataan prihatin saja, tetapi harus dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit pemerintah," sebut dia. Pemerintah, lanjutnya, telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2011.
"Unit ini harus diberikan kesempatan untuk bekerja efektif, efisien dan terutama melakukan keomunikasi intensif dengan mengedepankan dialog untuk menemukan solusi," kata Marzuki.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu menambahkan, pemberian otonomi khusus berdasarkan UU 21 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2008 adalah sudah tepat.
"Otonomi khusus itu merupakan awal kebijakan yang tepat guna membangun kepercayaan masyarakat Papua," ujarnya. Namun, dengan kucuran dana Rp300 triliun, masyarakat Papua tidak merasa ada peningkatan kesejahteraan. Menurut Marzuki, otonomi khusus itu tidak berjalan efektif dan amanat UU tentang Otonomi Khusus itu belum dilaksanakan secara maksimal. "Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana mendorong kesadaran generasi muda Papua sebagai bagian dari Indonesia, bagaimana Papua merasa memiliki Indonesia," kata Marzuki. (Zul)
Konflik Papua Adalah masalah Politik
Jakarta menutup diri atas masalah dan konflik
papua, Jakarta klaim masalah papua adalah masalah kesejetrahan namun
sesungguhnya adalah masalah politik papua, jika kasus politic tidak di
selesaikan melalui jalur perundingan politik maka pendekataan kesejahtraan
tidak akan pernah terwujud. Pembantaian orang papua yang paling dominan adalah
dengan label separatis, makar, OPM dan lain-lain, lebel ini berkaitan erat
dengan isu perjuangan pilitik papua, isu politik papua adalah masalah hak
kemerdekaan papua (Free west papua indenpenden).
Perjuangan politik papua ini berawal dari janji
belanda yang pernah deklarasikan 1 desember 1961 dengan artibut kenegaraan (
Bintang kejora, burung mabruk, lagu hai tanahku papua), baru-baru ini anggota
parlement belanda (partai anti islam) telah mengejutkan pernyataan bahwa
belanda mempunyai beban moral atas janji belanda terhadap rakyat papua (janji
kemerdekaan).
Solusi dari Segi Budaya
Diperlukan adanya dialog dan reformasi politik
untuk memberikan keinginan masyarakat Papua yang sesuai dengan hukum. Selain itu, rakyat
lebih senang ada pendekatan budaya, juga secara keimanan dengan melalui para
pendeta, pastor serta rohaniwan protestan maupun katolik.
Operasi Intilejen Solusi Konflik Papua
JAKARTA
-- Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Kabais TNI), Mayjen Purnawirawan
TNI M. Luthfie mengatakan, untuk mengatasi gejolak di Papua harus dilakukan
kembali operasi intelejen. Sehingga penyelesaian konflik di Papua memiliki
target tertentu.
"Menurut saya perhatian ke Papua harus bagus ya. Pendekatan kita sekarang, sebenarnya kita disana bisa dilakukan operasi intelijen," ujar Luthfie di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Luthfie mengatakan, operasi intelejen yang dilakukan jangan diartikan seperti operasi yang melakukan kekerasan saja, namun operasi itu bisa dilakukan dengan cara yang halus dengan melakukan pendekatan-pendekatan.
"Mustinya kan harus dikasih target. misalnya, Kodam dikasih target, potretnya Papua itu dibagi berapa, kan ada berapa kelompok. Sehingga ada satu periode misalnya periode Pangdam A harus selesaikan ini, istilahnya operasi penggalangan," jelasnya.
Dikatakannya, tidak semua operasi yang dilakukan ditargetkan secara sama, karena setiap operasi itu dilakukan harus dibedakan sesuai dengan kondisi dan laporan terbaru disana. Namun hal tersebut diakui Luthfie membutuhkan waktu dan biaya yang cukup.
"Sekarang kita kan hanya kayak pemadam kebakaran. Kita tidak punya konsep yang baku dan bagus. Kita dulu waktu jadi Kabais pernah bentuk satgas setia namanya, untuk memetakan keadaan di Papua, ada berapa kelompok-kelompok separatis disitu," ungkapnya.
Lebih lanjut Luthfie menambahkan, setelah dilakukan pemetaan kemudian aparat TNI atau Polri melakukan sebuah operasi penggalangan yang sifatnya halus tanpa ada kekerasan. Selanjutnya aparat harus mengetahui berapa kekuatan dan persenjataan kelompok-kelompok separatis disana.
Operasi tersebut juga diharapkan melalui komando yang jelas, sehingga mencapai konsep dan target yang bagus.
"Sehingga semua tidak ada yang lepas, ada kelompok yang lakukan sendiri operasi intel. Misalnya kopasus atau yang lain. Waktu saya jadi Kabais, Kepala BIN nya pak Syamsir, kita koordinasi supaya tidak lepas satu sama lain," pungkasnya.(ndr)
"Menurut saya perhatian ke Papua harus bagus ya. Pendekatan kita sekarang, sebenarnya kita disana bisa dilakukan operasi intelijen," ujar Luthfie di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Luthfie mengatakan, operasi intelejen yang dilakukan jangan diartikan seperti operasi yang melakukan kekerasan saja, namun operasi itu bisa dilakukan dengan cara yang halus dengan melakukan pendekatan-pendekatan.
"Mustinya kan harus dikasih target. misalnya, Kodam dikasih target, potretnya Papua itu dibagi berapa, kan ada berapa kelompok. Sehingga ada satu periode misalnya periode Pangdam A harus selesaikan ini, istilahnya operasi penggalangan," jelasnya.
Dikatakannya, tidak semua operasi yang dilakukan ditargetkan secara sama, karena setiap operasi itu dilakukan harus dibedakan sesuai dengan kondisi dan laporan terbaru disana. Namun hal tersebut diakui Luthfie membutuhkan waktu dan biaya yang cukup.
"Sekarang kita kan hanya kayak pemadam kebakaran. Kita tidak punya konsep yang baku dan bagus. Kita dulu waktu jadi Kabais pernah bentuk satgas setia namanya, untuk memetakan keadaan di Papua, ada berapa kelompok-kelompok separatis disitu," ungkapnya.
Lebih lanjut Luthfie menambahkan, setelah dilakukan pemetaan kemudian aparat TNI atau Polri melakukan sebuah operasi penggalangan yang sifatnya halus tanpa ada kekerasan. Selanjutnya aparat harus mengetahui berapa kekuatan dan persenjataan kelompok-kelompok separatis disana.
Operasi tersebut juga diharapkan melalui komando yang jelas, sehingga mencapai konsep dan target yang bagus.
"Sehingga semua tidak ada yang lepas, ada kelompok yang lakukan sendiri operasi intel. Misalnya kopasus atau yang lain. Waktu saya jadi Kabais, Kepala BIN nya pak Syamsir, kita koordinasi supaya tidak lepas satu sama lain," pungkasnya.(ndr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar