Minggu, 29 Juni 2014

Bahaya Merkuri Ancam Masyarakat Aceh

Bahaya Merkuri Ancam Masyarakat Aceh Sebuah media online memberitakan bahwa PT Exxon Mobil membuang limbah mercury (Hg) atau logam raksa ke sawah dan sungai di Cluster I Syamtalira Aron, di Desa Hueng, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Akibatnya areal sawah warga rusak dan sungai tercemar. Bagi warga yang menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci atau sebagianya, mengalami gatal-gatal. Bukan itu saja, bahkan didapati banyak ikan yang mati karena limbah mercury milik PT Exxon Mobil. Kini masih berada di PPLI Bogor untuk diteliti terkait kadar zat berbahaya terkandung di lokasi pemboran minyak tersebut (www.rakyataceh.com, 19/10/2010). Kejadiannya, menurut mantan pekerja Exxon Terpiadi A Majid, saat itu sedang terjadi hujan besar sehingga penampungan air di dalam Cluster I meluap. Kemudian penutup dibuka oleh petugas Exxon sehingga mengalir ke sawah dan irigasi. Warga pun mengadakan protes dan meminta Exxon menghentikan pembuangan. Pihak PT Exxon Mobil mengadakan aksi peduli dengan membersihkan lokasi temuan mercury. Menurut media tersebut, dalam rentang waktu mulai tahun 1977 sampai sekarang perusahaan itu telah memproduksi bahan B3 alias zat kimia berbahaya termasuk mercury dalam jumlah besar. Namun sampai saat ini, perusahaan Amerika itu masih merahasiakan keberadaan limbah kimia yang diproduksinya, apakah ditanam dalam tanah atau dibuang ke daerah lain. Menurut Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar, merkuri adalah produk sampingan dalam proses pemurnian gas alam seperti ExxonMobile. Merkuri bersama zat-zat pengotor lainnya, seperti sulfur dan air dipisahkan dari fraksi-fraksi gas alam lain. Ciri merkuri adalah cairan berwarna kuning keemasan, cairan tersebut bisa mematahkan logam apabila dimasukkan ke dalam cairan. Sesuai dengan Permen LH No 18/2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3 pasal 2 ayat (2) disebutkan, penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan penggumpalan limbah B3 sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf c. Dengan demikian, pihak ExxonMobile sebagai penghasil limbah tidak diperkenankan mengelola limbah merkurinya sendiri, tetapi harus menyerahkannya kepada pihak lain. Namun, sejauh ini belum terdengar siapa pengelola limbah ini. Tidak hanya di Aceh Utara, di Kabupaten Aceh Selatan pun limbah mercury banyak bertebaran pada areal pengolahan emas tradisional di Gunung Alue Buloh, Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang. Tambang emas di kawasan Gunung Alue Buloh, Sawang itu sendiri adalah milik daerah sehingga merupakan asset pemerintah kabupaten Aceh Selatan. Tempat pengolahan emas gelondongan di Sawang sudah mencapai 114 unit (Serambinews.com). , Kepala Dinas Kesehatan Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM kemarin meminta semua pihak terkait di jajaran Pemkab Aceh Jaya segera memfungsikan peran instansi masing-masing untuk menuntaskan permasalahan lingkungan di Gunong Ujeun yang semakin mencemaskan. “Perlu segera dilakukan penanganan untuk menyelamatkan ribuan masyarakat dari ancaman bahaya logam merkuri yang sudah mulai mencemari sungai, sawah, bahkan sumur penduduk. “Jika ini dibiarkan terus-menerus tanpa ada penanganan yang efektif, maka pencemaran tersebut akan semakin meluas ke seantero Aceh Jaya,” kata Cut Kasmawati. Dia nyatakan hanya mengajak agar semua pihak terkait di Aceh Jaya mulai memandang serius masalah ini dan mau bahu-membahu mencarikan solusi yang cepat, tepat, dan terukur. Pencemaran saat ini telah merambah ke sebagian sumur warga, sungai, dan tanah. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahaya sudah berada di depan mata. Oleh sebab itu, diperlukan langkah cepat dan tepat untuk menanggulanginya. Permasalahan yang terjadi saat ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, namun harus kita lihat dari berbagai aspek. Munculnya puluhan bahkan ratusan penambang emas illegal ini harusnya menjadi pengamatan pihak pemerintah Aceh. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saat ini masyarakat berlomba-lomba ingin cepat kaya dan sejahtera. Seiring dengan beban hidup yang lebih tinggi, masyarakat mulai mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dalam waktu cepat tanpa memikirkan risiko-risiko yang akan dihadapi. Harapan untuk menjadi cepat kaya terbentang di benak para penambang emas tersebut, mereka tidak memikirkan keselamatan bahkan kesehatan keluarganya hanya demi mendulang rupiah dan mendapatkan hidup yang lebih layak. Bertani bukan lagi pilihan, hasil panen yang lama belum lagi serangan hama dan kemarau ekstrem menjadi pertimbangan besar. Makanya tak heran jika di wilayah-wilayah yang memiliki banyak aset tambang emas, lebih banyak masyarakat yang memilih untuk bekerja sebagai penambang. Aktivitas menambang memang bukan hal yang mudah, mereka harus berpacu dengan waktu dan tenaga yang dikuras luar biasa, kadang hasilnya sesuai dengan keringat, kadang pula tidak, bahkan harus merelakan nyawa sendiri dan keluarga. Penggunaan merkuri yang digunakan untuk memisahkan bijih emas sudah menyebar kemana-mana. Saat penambang pulang membawa uang, tanpa disadari dia juga “membawa maut” untuk keluarga dan orang-orang sekitarnya. Jika sudah begini kejadiannya, siapa yang harus disalahkan? Tidak mungkin kita hanya menyalahkan sang penambang yang mencari pundi-pundi emas di lubang maut, atau tauke emas yang ingin cepat kaya dengan “tambang surga-neraka” itu, atau masyarakat yang membiarkan aktivitas ilegal ini terjadi di daerahnya. Tapi kemana perginya pihak pemerintah setempat? Mengapa membiarkan kejadian ini terus berlarut-larut, padahal sudah mengetahui dampak yang akan ditimbulkan? Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2010/12/23/limbah-mercury-ancam-kesehatan-masyarakat-aceh-326964.html http://aceh.tribunnews.com/2014/02/20/polisi-selidiki-kasus-merkuri http://aceh.tribunnews.com/2014/02/20/merkuri-ancam-masa-depan-aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar